Innovation Policies in South Korea and Taiwan



Erikson (2005) mempublikasikan kajiannya yang berjudul Innovation Policies in South Korea and Taiwan. Erikson (2005) berusaha membandingkan kebijakan inovasi di dua negara tersebut. Dalam penelitiannya, Erikson menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan studi literatur dari penelitian-penelitian terdahulu dan dokumen-dokumen kebijakan pemerintah. Teknik analisis data yang digunakan oleh Erikson adalah teknik analisis data kualitatif secara comparative analysis. Comparative analysis seperti ini biasanya digunakan sebagai pembelajaran bagi organisasi-organisasi lain, termasuk negara.

Kemungkinan, peneliti mengambil Korea Selatan dan Taiwan sebagai objek penelitian, didasarkan pada sejumlah kesamaan kedua negar tersebut. Kedua negara tersebut erat dikaitkan ke dalam sistem ekonomi Jepang, karena merupakan koloninya. Selain itu, kedua negara memiliki kesamaan dalam situasi politik luar negeri yang sulit. Taiwan diklaim sebagai bagian daratan Cina dan dalam kasus Korea Selatan ada ancaman dari Korea Utara yang tidak stabil. Selain itu, di awal periode berdirinya negara, kedua negara digambarkan sebagai negara korporatis otoriter.

Di Korea Selatan, industri dikuasai oleh para konglomerat yang dinamakan chaebol. Chaebol telah menjadi kekuatan terbesar dari sistem inovasi Korea Selatan. Sementara di Taiwan, perekonomian didominasi oleh UKM dengan semangat kewirausahaan yang kuat, fleksibel, dan struktur industri didasarkan pada bisnis kelompok yang terstruktur di sekitar keluarga. Di Korea Selatan, bisnis yang dilakukan jauh lebih besar dan ditujukan bagi kebutuhan dalam negeri dan pasar internasional. Sementara di Taiwan, pemerintahnya lebih berfokus pada penciptaan lembaga penunjang untuk membangun sumber daya manusia, memperoleh teknologi dari luar negeri, menciptakan kapsitas ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan produk-produk komersil.

Dalam hal menunjang inovasi, penelitian di universitas di kedua negara relatif lemah. Universitas kurang berinterkasi dengan sektor swasta serta langkanya mekanisme difusi untuk mentransfer hasil penelitian dari penelitian sektor publik kepada industri dan khususnya UKM. Namun, salah satu  keberhasilan bagi keberhasilan Taiwan dalam industri TI adalah adanya arsiektur modular  Dari produk-produk sebagai modularisasi yang dapat mengurangi kompleksitas produk, hambatan masuk yang lebih rendah, dan meningkatkan fleksibilitas industri.

Salah satu bentuk kebijakan inovasi dari kedua negara adalah munculnya daerah inovatif seperti Hsinchu sebagai tempat bagi komunits transnasional untuk melakukan kontak. Pada awal-awal industialisasi, kedua negara sama-sama mengadopsi teknologi dari luar negeri. Teknologi diadopsi terutama dari Jepang dan Amerika Serikat. Adopsi teknologi ini dilakukan dalam rangka transfer teknologi dan pembelajaran. Warga negara yang melakukan studi atau bekerja di luar negeri, terutama yang berkaitan dengan teknologi, kembali ke Taiwan dan Korea Selatan dalam rangka transfer teknologi tersebut. Khusus untuk Taiwan, sekitar tahun 1990-an, pemeintah memutuskan untuk memulai pengemabngan industri aerospace.

Dalam alih teknologi, keterbukaan menjadi sesuatu yang penting. Tentunya, keterbukaan yang dimaksud bukanlah keterbukaan yang ‘menjual’ kedaulatan negara. Apa yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Taiwan untuk terbuka dalam hal teknologi, menjadikan kedua negara tersebut sebagai negara yang mampu menciptakan teknologi itu sendiri.

Comparative analysis yang digunakan oleh peneliti dalam tulisannya hanya menunjukkan sebuah analisis deskriptif. Artinya, hanya menampilkan temuan-temuan tanpa analisis dengan interpretsi yang mendalam. Akan tetapi, dengan analisis yang deskriptif ini, bisa dijadikan sebagai lesson learnt bagi pengembangan kebijakan inovasi di Indonesia. Satu hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan adalah komitmen pemerintah sendiri.

Jurnal dapat didownload disini.

Share this:

Tidak ada komentar