Said (2013) menjelaskan bahwa
evaluasi kebijakan publik ditujukan untuk memperbaiki kegagalan pelaksanaan
kebijakan publik. Said menjadikan pendapat Dye sebagai rujuan faktor penyebab
kegagalan implementasi kebijakan publik. Dye dalam Witaradya (2010) menjelaskan
dua faktor penyebab kegagalan implementasi kebijakan publik, yaitu (1) bad
execution yang mana kebijakan tidak terimplementasi sesuai rencana dan (2) bad
policy yang menjelaskan bahwa kebijakan yang telah diformulasikan tidak
sesuai dengan kebutuhan.
Dvorak (2008) menjelaskan bahwa evaluasi
memiliki beberapa efek yang berbeda pada masyarakat. Pertama, evaluasi dapat
menjadi respon untuk mengurangi kepercayaan di negara kontemporer. Evaluasi
bisa menjadi ukuran kepercayaan dan legitimasi. Masyarakat yang menerapkan
sistem evaluasi akan diperkuat
dengan faktor kepercayaan
antara anggota dan pemimpin mereka. Hal ini karena menurut Hamburger dalam Dvorak (2008) dijelaskan bahwa
fungsi evaluasi adalah untuk memastikan legitimasi atau de-legitimasi program. Akan tetapi, evaluasi kebijakan dapat membantu untuk
mengetahui apakah suatu
program sesuai atau tidak dengan program, strategi, dan konsep pemerintah yang lainnya.
Kedua, menurut Dvorak (2008), evaluasi
dapat membantu untuk menentukan apakah ada prasyarat untuk duplikasi program.
Oleh karena itu banyak evaluasi yang dimulai untuk mengkonfirmasi keyakinan
yang ada atau terkait posisi
politik. Namun demikian, evaluasi kebijakan publik dapat digunakan sebagai
taktik penundaan, ketika para politisi tidak ingin menerima keputusan karena
alasan kepentingan mereka.
Inisiator dari evaluasi harus bertanya kepada dirinya sendiri dan peserta lain,
ketika probabilitas tinggi dapat terjadi bahwa hasil penilaian akan dianggap
serius oleh para pengambil keputusan dan pelaksana.
Selanjutnya, ketiga menurut Dvorak (2008),
evaluasi tidak selalu menciptakan rasa percaya diri bahwa segala sesuatu sudah berada di bawah
kendali. Evaluasi dianggap sebagai instrumen manajemen risiko, yang menjamin
politisi, pejabat pimpinan
tinggi dan pemimpin organisasi non-pemerintah terhadap tuduhan
kelalaian, perilaku yang tidak bertanggung jawab.
Bressers, dkk. (2013) menjelaskan
tentang beberapa pendekatan evaluasi kebijakan. Terdapat pendekatan klasik yang
melihat tingkat capaian tujuan kebijakan. Tujuan yang dinilai dalam evaluasi
biasanya tujuan kebijakan resmi. Evaluasi tidak boleh eksklusif berdasarkan
kriteria yang telah ditentukan pada tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi harus
mencakup posisi dan pendapat dari para pemangku kepentingan.
Dalam perkembangnnya, pendekatan
baru untuk evaluasi telah dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir.
Pendekatan mengenai evaluasi lebih mengembangkan pada keterlibatan banyak
pihak. Akan tetapi, muncul persoalan karena pendapat dari masing-masing pihak
berbeda terhadap suatu pelaksanaan kebijakan. Oleh karena itu, menurut Dvorak orientasi dari
evaluasi harus dapat menjangkau berbagai pihak yang memiliki pendapat beragam
tersebut.
Pada saat melakukan evaluasi,
menurut Dvorak (2008), harus juga memberikan perhatian kepada kontroversi fakta
(apa yang sebenarnya terjadi) dan kontroversi dari nilai-nilai dan norma-norma
(bagaimana cara menilai). Ketika melakukan evaluasi, evaluator tidak
hanya berbeda dalam tujuan mereka, tetapi juga dalam pendapat mereka tentang
definisi masalah, penyebab masalah, dan standar solusi yang harus menjadi dasar.
Gambar 1. Time and Policy Evaluation
Sumber: Bressers, dkk. 2013
Sandberg, dkk. (2002) menjelaskan
bahwa evaluasi biasanya dirancang sebagai proses formatif, yaitu
dilakukan secara paralel dengan tahap implementasi, di mana laporan evaluasi
diharapkan akan diterbitkan selama proses implementasi sehingga efek negatif
dari reformasi atau konsekuensi yang tidak diinginkan dapat dikoreksi segera
setelah mereka muncul. Kemudian laporan evaluasi tersebut biasanya dapat
diakses oleh publik.
Evaluasi
kebijakan publik menurut Muhadjir dalam Anggraeni, dkk (2013) merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu
kebijakan publik dapat membuahkan hasil, yaitu dengan membandingkan antara
hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan publik yang
ditentukan. Bingham dan Felbinger, Howlet dan Ramesh (1995) dalam Anggraeni, dkk. (2013) mengelompokkan
evaluasi menjadi tiga, yaitu evaluasi administratif, evaluasi yudisial, dan
evaluasi politik. Evaluasi administratif berkenaan dengan evaluasi sisi
administratif—anggaran, efisiensi, biaya—dari proses kebijakan di dalam
pemerintah yang berkenaan dengan (1) effort evaluation, yang menilai
dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan, (2) performance
evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan
oleh kebijakan, (3) adequacy
of performance evaluation atau effectiveness
evaluation, yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah
ditetapkan, (4) efficiency
evaluation, yang menilai biaya program dan
memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut, dan (5) process
evaluations, yang menilai metode yang
dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program. Evaluasi yudisial
berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan,
termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika,
aturan administrasi negara, hingga hak asasi manusia. Adapun evaluasi
politik berkenaan dengan penilaian sejauh mana penerimaan konstituen politik
terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.
Setiawan (2009) menjelaskan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode berjalannya suatu kebijakan. Selain menilai efektifitas, evaluasi juga berfungsi untuk menilai sejauhmana tujuan dari suatu kebijakan berhasil dicapai.
Setiawan (2009) menjelaskan bahwa setiap kebijakan yang diterapkan harus memperoleh pengawasan supaya dapat dipertanggungjawabkan. Wujud pengawasan tersebut berupa evaluasi kebijakan yang dapat dilaksanakan setelah beberapa waktu atau periode berjalannya suatu kebijakan. Selain menilai efektifitas, evaluasi juga berfungsi untuk menilai sejauhmana tujuan dari suatu kebijakan berhasil dicapai.
Sumber:
[1] Anggraeni, Ratih; Zauhar Soesilo; Siswidiyanto, 2013.
Evaluasi Terhadap Proses Pengadaan Anjungan Mandiri Kepegawaian Berdasarkan
Perpres No. 54 Tahun 2010 di Badan Kepegawaian Daerah Kota Malang. Jurnal
Administrasi Publik, Vol. 1, No. 1, page 119-127.
[2] Bressers, Nanny; van Twist, Mark; Ten Heuvelhof, Ernst,
2013. Exploring the Temporal Dimension in
Policy Evaluation Studies. Policy
Sciences, Vol. 46, No. 1, page 23-37.
[3] Dvorak, Jaroslav, 2008. A
Theoretical Interpretation of Policy Evaluation in the Context of Lithuanian
Public Sector Reform. Baltic
Journal of Law & Politics, Vol. 1, No. 1, page 95-110.
[4] Said, Umar, 2013. Public Policy Evaluation of Human Resources
Transformation on Vocational High School in Situbondo District. GSTF Journal
of Law and Social Sciences (JLSS), Vol. 2, No. 2, page 24-29.
[5] Sandberg, Nina; Stensaker, Bjorn; Aamodt, Per Olaf, 2002. Evaluation in Policy Implementation: An Insider Report. The International Journal of Public Sector Management, Vol.15, No. 1, page 44-55.
[5] Sandberg, Nina; Stensaker, Bjorn; Aamodt, Per Olaf, 2002. Evaluation in Policy Implementation: An Insider Report. The International Journal of Public Sector Management, Vol.15, No. 1, page 44-55.
[6] Setiawan, Heru, “Evaluasi
Implementasi Kebijakan Penyediaan Sistem Teknologi Informasi di Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia” (Tesis, Universitas Indonesia, 2009), hal. 17.
[7] Witaradya, Setiawan, “Implementasi Kebijakan
Subsidi RIntisan Sekolah Dasar Bertaraf Internasional (RSDBI) Studi Kasus pada
RSDBI di SDNP Menteng 01 Jakarta Pusat dan SD Negeri Sukadamai 3 Kota Bogor”
(Tesis, Universitas Indonesia, 2010), hal.16.
Tidak ada komentar