Grindle
(1980) merumuskan implementasi kebijakan sebagai sebuah proses politik dan
administratif (lihat gambar 1). Pada tahap awal, dirumuskan apa yang menjadi
tujuan (goals) dari kebijakan tersebut. Kemudian disusun program-program
yang relevan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, disertai rencana
pendanaan dan desain kerjanya. Setelah itu dilanjutkan dengan pelaksanaan
akitivitas-aktivitas. Sampai akhirnya terciptakan outcomes yang menjadi
indikator kesuksesan dari suatu kebijakan.
Gambar
1. Proses Implementasi Kebijakan Model Grindle
Sumber:
Grindle, 1980
Penentuan
tujuan (goals) dari suatu kebijakan dapat terjadi melalui dua mekanisme,
top down atau bottom up. Mekanisme penentuan tujuan (goals)
kebijakan yang top down berarti tujuan tersebut merupakan inisiatif
pembuat atau pelaksana kebijakan. Sementara penentuan tujuan (goals)
kebijakan yang mengadopsi mekanisme bottom up mengandung makna bahwa
inisiatif tujuan berasal dari penerima manfaat, bisa masukan, kritik, atau
harapan masyarakat yang kemudian diadopsi sebagai tujuan suatu kebijakan. Dalam
hal ini, Grindle (1980) lebih menekankan pentingnya penentuan tujuan kebijakan
yang bersifat bottom up. Hal ini karena dalam rumusan implementasi
kebijakan sebagai sebuah proses politik dan administratif yang dibuatnya
bukanlah sebuah proses yang linear dan berhenti di terciptanya outcomes.
Akan tetapi, terjadi proses yang berkesinambungan yang mensyaratkan penentuan
kebijakan haruslah memperhatikan hasil-hasil yang telah dicapai sebelumnya.
Selanjutnya,
agar tujuan kebijakan tercapai, ditentukanlah program-program yang relevan
disertai rencana pendanaan dan desain kerjanya. Sama halnya dengan penentuan
tujuan (goals) suatu kebijakan, penentuan program-program relevan juga
dapat bersifat top down atau bottow up. Lagi-lagi, Grindle (1980)
lebih menekankan pentingnya penentuan program-program tersebut dengan sifat bottom
up. Masukan-masukan dari penerima manfaat (bisa masyarakat, individu,
maupun kelompok masyarakat) haruslah diperhatikan dalam penentuan
program-program tersebut.
Akan
tetapi, hal yang perlu diperjelas lebih lanjut oleh Grindle adalah bahwa dengan
menekankan mekanisme bottom up dalam penentuan program-program
kebijakan, tidak sepenuhnya masukan penerima manfaat diakomodir menjadi program
yang nantinya akan dilaksanakan. Terdapat berbagai faktor yang menentukan
apakah masukan dari penerima manfaat dapat direalisasikan menjadi program
kebijakan atau tidak, seperti anggara dan level pembuat atau pelaksana
kebijakan.
Anggaran
menjadi faktor terpenting dalam menentukan suatu usulan direalisasikan menjadi
program kebijakan atau tidak. Karena konteks pembahasan Grindle mengambil
negara-negara di dunia ketiga, maka anggaran negara-negara di dunia ketiga
biasanya tidak begitu berlimpah. Hal ini menyebabkan penentuan program-program
kebijakan berdasarkan skala prioritas. Ketika suatu usulan program dirasa dapat
mengakibatkan inefisiensi anggaran, maka besar kemungkinan usulan program
tersebut dikesampingkan.
Selain
anggaran, faktor lain yang mempengaruhi penentuan program-program kebijakan
adalah prioritas kinerja dari sebuah level pelaksana kebijakan. Apa yang
dimaksud level pelaksana kebijakan oleh Grindle (1980) sepertinya dijelaskan
oleh Bromley (1989) ketika menjelaskan hierarki proses penyusunan kebijakan.
Bromley (1989) mengelompokkan tiga level yang berhubungan dengan hierarki
proses penyusunan kebijakan, yaitu policy level, organizational level, dan
operational level (lihat gambar 2).
Gambar 2. Hierarki Proses Penyusunan Kebijakan
Sumber:
Bromley, 1989
Ketika
Grindle (1980) menjelaskan bahwa penentuan program-program kebijakan harus
lebih menekankan mekanisme bottom up, tetapi pada praktiknya akan
menghadapi tantangan kepentingan di level pembuat dan pelaksana kebijakan,
seperti tiga level yang dijelaskan Bromley (1989). Pada level pertama, yaitu policy
level, usulan-usulan program tersebut akan dipertimbangkan apakah memenuhi market
atau no market process. Kemudian pada level kedua, yaitu organizational
level, usulan program tersebut akan diperhitungkan menurut pertimbangan allocation
of benefits-nya, seperti tax policy yang mengatur distribution of
income. Adapun pada level ketiga, yaitu operational level, usulan
program akan diperhitungkan berdasarkan pertimbangan property right dan economic
benefit.
Meskipun
usulan-usulan program kebijakan tidak sepenuhnya diakomodir menjadi program
yang akan diimplementasikan, namun perlu dicatat bahwa proses yang mengakomodir
masukan-masukan dari penerima manfaat jauh lebih baik daripada mengabaikannya.
Hal itu karena penerima manfaatlah yang mengetahui sepenuhnya apa kebutuhan
dari dilaksanakannya suatu program kebijakan. Bagi pihak pembuat dan pelaksana
kebijakan, penetapan suatu program kebijakan adalah sebuah keputusan publik
yang harus dilaksanakan secara maksimal.
Pada
pelaksanaannya, terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Grindle
(1980) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan publik bukanlah suatu hal yang
mudah karena berkaitan dengan hubungan antar lembaga pemerintah baik dari level
paling atas hingga paling bawah, situasi politik, lingkungan sosial, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, Grindle (1980) menjelaskan bahwa pada tahap
pelaksanaan program dan kegiatan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu content of
policy dan context of implementation.
Content
of policy yang
dimaksud oleh Grindle (1980) meliputi kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya
program, jenis manfaat yang akan dihasilkan, jangkauan perubahan yang
diinginkan, kedudukan pengambil keputusan, pelaksana program, dan sumber daya
yang disediakan. Pertama, terkait kepentingan yang dipengaruhi oleh adanya
program, Grindle (1980) menjelaskan bahwa apabila kebijakan tersebut tidak
menimbulkan kerugian di salah satu pihak, maka implementasinya akan lebih mudah
karena tidak akan menimbulkan perlawanan bagi yang kepentingannya dirugikan.
Akan tetapi, umumnya dalam penetapan dan pelaksanaan suatu kebijakan, di satu
sisi terdapat pihak yang diuntungkan dan di sisi lain terdapat pihak yang
dirugikan.
Kedua,
terkait jenis manfaat yang akan dihasilkan. Grindle (1980) menyatakan bahwa kebijakan
yang memberikan manfaat kolektif atau pada banyak orang akan lebih mudah
diimplementasikan karena lebih mudah mendapatkan dukungan dari kelompok sasaran
atau masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan kelompok sasaran atau
masyarakat menjadi poin yang penting dalam implementasi suatu program atau
kebijakan. Akan tetapi, perlu kajian lebih lanjut mengenai bentuk dukungan dari
kelompok sasaran atau masyarakat tersebut, apakah murni didasarkan pada
kesadaran politik atau malah terinspirasi dari kepentingan politik.
Ketiga,
terkait jangkauan perubahan yang diinginkan, Grindle (1980) menjelaskan bahwa
semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan, biasanya semakin sulit untuk
diimplementasikan. Lingkup perubahan dapat didasarkan pada konteks kewilayahan,
cakupan dampak, dan lain sebagainya. Hal ini berkaitan dengan tantangan yang
dihadapi berbanding lurus dengan lingkup perubahannya. Pada lingkup perubahan
yang kecil, tantangannya pun relatif kecil. Sebaliknya, pada lingkup perubahan
yang lebih besar, maka tantangannya pun relatif lebih besar juga.
Keempat,
terkait kedudukan pengambil keputusan, maka Grindle (1980) menjelaskan bahwa semakin
tersebar kedudukan pengambil keputusan, maka akan semakin sulit implementasinya.
Kondisi tersebut biasanya terjadi ketika implementasi program melibatkan banyak
instansi. Hal ini mengharuskan kejelasan pembagian tugas antar satu instansi
dengan instansi lainnya. Meskipun ada peluang untuk melakukan diskresi,
biasanya pejabat publik berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam
organisasi sektor publik, terdapat kelemahan ketika seorang pejabat publik
mengambil keputusan. Apa yang harus dikedepankan antara inovasi dan aturan.
Kedua hal tersebut kadang kala berbenturan dan mau tidak mau seorang pejabat
publik harus tunduk pada aturan. Hal itulah yang sering memberi kesan bahwa
birokrasi lamban dalam merespon keinginan masyarakat.
Diskresi sendiri merupakan bagian
sentral dan tidak dapat dihindarkan dari sebuah hukum (Hawkins, 1991). Diskresi
menjadi bagian sentral pada hukum dikarenakan sistem
hukum kontemporer memberikan
kewenangan kepada para pejabat adminsitratif untuk memutuskan masalah dalam
rangka mencapai tujuan legislatif yang lebih luas. Diskresi menjadi bagian yang
tidak dapat dihindarkan dikarenakan penerjemahan aturan
ke dalam tindakan,
proses sehingga abstraksi menjadi aktualisasi, dan melibatkan orang
dalam interpretasi
dan pilihan. Namun,
terdapat kritik yang ditujukan kepada penggunaan diskresi, yakni penyimpangan
akibat ketiadaan mengikuti standar proses pengambilan keputusan sebagaimana
mestinya serta kesulitan menjamin terwujudnya akuntabilitas aparatur pemerintah
yang menggunakan diskresi sehingga pada gilirannya justru semakin memperbesar
kesempatan melakukan korupsi.
Pembatasan terhadap diskresi penting
dan perlu sebab diskresi bebas akan mengakibatkan pelanggaran terhadap
kewenangan, baik berupa penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang. Untuk
membatasi diskresi, diperlukan berbagai mekanisme pengendalian terhadap
birokrasi. Van Wart (1998) mengemukakan tujuh tipe kontrol terhadap diskresi: law
yang dihasilkan lembaga legislatif dan peradilan, rules yang bersumber
dari organisasi terkait, public opinion yang memuat sentimen masyarakat,
virtue berupa karakter dan nilai-nilai individu, norms yang
menjadi standar profesionalisme, comparison dalam bidang manajemen dan
keuangan, serta competition.
Kelima,
terkait pelaksana program. Ketika pelaksana program memiliki kemampuan dan
dukungan yang dibutuhkan, maka tingkat keberhasilan suatu program akan tinggi.
Adapun keenam, terkait sumber daya yang disediakan, keberhasilan pelaksanaan
program tergantung pada ketersediaan sumber daya pendukungnya apakah memadai
atau tidak.
Content
of implementation yang
dimaksud Grindle (1980) mencakup (1) kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari
para aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan rezim, dan (3)
penyesuaian dan cepat tanggap. Pada content of implementation ini,
Grindle (1980) memiliki fokus pada bagaimana konteks politik mempengaruhi
implementasi kebijakan.
Pertama,
terkait kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari para aktor yang terlibat. Apabila
suatu kekuatan politik merasa berkepentingan atas suatu program, maka mereka
akan menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi
sehingga mereka dapat menikmati outputnya. Tidak jarang, strategi yang disusun
oleh kekuatan politik merupakan strategi yang berkolaborasi dengan birorkasi.
Dengan kata lain, terdapat hubungan simbiosis mutualisme antara politisi dengan
birokrasi. Dalam konteks ekonomi politik, apa yang disampaikan oleh Grindle ini
memiliki kesesuaian dengan teori public choice paradigm. Menurut teori public
choice paradigm, dalam penyelenggaraan negara, terdapat aktor-aktor yang
terlibat dan memiliki kepentingan masing-masing. Agar kepentingan masing-masing
aktor terpenuhi, maka terjadi hubungan-hubungan saling menguntungkan antar
aktor.
Dalam
konteks pelaksanaan program, dukungan dari kekuatan politik menjadi poin yang
penting. Apalagi jika konsep sebuah negara menganut sistem parementer. Kinerja
eksekutif akan sangat bergantung pada kepercayaan legislatif. Lebih dari itu,
dukungan dari kekuatan politik sejatinya dukungan dari masyarakat. Hal ini
karena anggota legislatif adalah wakil rakyat yang mewakili aspirasi rakyat.
Kedua,
terkait karakteristik lembaga dan rezim. Karakteritik satu rezim dengan rezim
yang lainnya biasanya berbeda. Terlihat dari visi dan kebijakan-kebijakan yang
dibuat antara satu rezim dengan rezim yang lainnya. Pelaksanaan program akan
sangat dipengaruhi oleh orientasi rezim ini.
Ketiga,
terkait penyesuaian dan cepat tanggap, maka pelaksanaan implementasi akan
sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial yang begitu cepat. Umumnya,
penyesuaian aturan yang menjadi payung implementasi program tidak secepat
perubahan sosial yang terjadi. Hal ini yang menyebabkan perubahan sosial yang
memerlukan penanganan yang cepat kadang kala tidak teratasi akibat belum adanya
payung hukum yang mengaturnya.
Berbicara
mengenai content of implementation, seiring perkembangan waktu,
berkembang teori yang lebih mengakomodir aktor lain yang mempengaruhi
implementasi kebijakan disamping hanya internal pemerintah. Seiring dengan perkembangan konsep good
governance, maka partisipasi masyarakat dan pihak swasta dapat mempengaruhi
implementasi kebijakan. Salah satu yang dapat dijadikan rekomendasi
penyempurnaan model Grindle adalah teori Kelembagaan Baru yang diberi nama New Institutionalisme in Economics and
Sociology (NIES) yang digagas oleh NEE.
Dalam implementasi program, lembaga pemerintahan
berinteraksi dengan jaringan sosial dan norma-norma sosial untuk mengarahkan
tindakan-tindakan ekonomi. Dengan demikian, dari arah tindakan yang hendak
dicapai, yakni ekonomi, maka teori yang digagas Nee tidak bisa terlepas dari
keterlibatan masyarakat dan swasta.
Lebih lanjut, Nee (2003) menawarkan suatu konsep kerangka kelembagaan ekonomi sosiologi dengan mengintegrasikan
kerangka kelembagaan pada tataran makro, meso, dan mikro (lihat gambar 3). Pada
tataran makro berbicara mengenai institutional environment, yang berarti
dalam ranah pemangku kepentingan pada ranah kebijakan. Tataran meso
mengindikasikan adanya production market/organizations field maupun
organisasi baik profit maupun nirlaba. Adapun pada tataran mikro
mengindikasikan adanya kelompok sosial dan individu.
Gambar
3. Model New Institutionalism in Economic and Sociology
Sumber:
Nee, 2003
Model
multi-level pada model tersebut menjelaskan tentang keterkaitan fungsi
lingkungan institusional berupa regulasi formal yang diterapkan oleh pemerintah
(institutional environment) dalam menata hak-hak kepemilikan, pasar, dan
perusahaan yang berintegrasi dengan aturan formal dan informal di level meso
(organisasi) dan juga level mikro (social group dan individuals).
Dengan kata lain, Nee menjelaskan bahwa dalam model tersebut terjadi mekanisme
integrasi hubungan formal dan informal pada masing-masing level. Apabila integrasi
tersebut tidak berjalan seperti apa yang diharapkan, maka kemungkinan akan
terjadi ketidakmerataan sumber-sumber sosial. Ketidakmerataan sumber-sumber
sosial ini berasal dari analisis hambatan struktural dan dinamika norma-norma
sosial dalam interaksi masyarakat.
Dalam
aplikasi teori yang dikemukakan Nee ini, dapat mengindikasikan adanya kerjasama
dalam implementasi kebijakan antara pemerintah dengan swasta (public private
partnership). Keterlibatan swasta tidak hanya pada tataran memberikan
masukan dalam proses formulasi kebijakan, kemudian pemerintah mengakomodirnya,
tetapi juga lebih jauh dari itu swasta memiliki peran dalam implementasi
kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Mekanisme ini biasanya dilakukan oleh
pemerintah dikarenakan keterbatasan anggaran, kapasitas sumber daya manusia
dari pemerintah yang kurang mumpuni, maupun dalam kaitannya dengan transfer
of technology and knowledge dari swasta ke pemerintah.
Berbicara
mengenai pelaksanaan program, penjelasan Grindle akan sangat tergantung pada
konsep pengaturan urusan yang diaposi oleh negara. Negara yang menerapkan
sentralisasi berbeda pelaksanaan programnya dengan negara yang menerapkan
desentralisasi. Apapun konsep yang diadopsi, pelaksanaan program pasti berujung
pada outcomes.
Pada pembahasan outcomes, hal ini tidak
dapat dipisahkan dengan tujuan (goals) yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan
kata lain, apakah outcomes yang dicapai telah sesuai dengan rencana atau tidak.
Ketika berbicara outcomes ini, Grindle (1980) menjelaskan bahwa outcomes
tersebut harus memenuhi dua unsur, yaitu terdapat dampak positif bagi
masyarakat, individu, dan kelompok dan terjadi perubahan dan penerimaan dari
program yang telah dijelaskan. Pendapat atas kedua unsur tersebut murni harus
berasal dari masyarakat, buka pandangan subjektif dari pelaksana program. Hal
ini karena, sebagai sebuah proses yang berkesinambungan, pendapat masyarakat
tersebut merupakan evaluasi atas pelaksanaan program yang telah dilakukan.
Hasil evaluasi tersebut kemudian menjadi feedback untuk merumuskan
tujuan dan program-program kebijakan yang lebih efektif di waktu yang akan
datang.
Tidak ada komentar